Did I ever tell you, that you're my Hero? -bag 1-


-maafkan kami yang selalu membuat ayah murka, kami hanya tak ingin kehilangan ayah. Kami rindu, kami rindu pelukan ayah. Kami rindu teladan ayah. Kami rindu pituah ayah.Jika memang kekerasan yang membuat kami lurus maka kerjakanlah. Namun, kamu juga butuh apa itu kasih sayang-
Hari ini ayam berkokok seperti biasa. Fajar belum tiba pun Kak Affan membangunkanku untuk sholat tahajut. Sulit bagiku untuk bangun sepagi itu, namun Kak Affan selalu mempunyai cara agar aku bisa bangun dan menunaikan ibadah yang sangat utana tersebut.
Selepas wudlu aku langsung memakai mukenaku dan sholat di belakang Kak Affan. Namanya saja anak SD, jadi meskipun aku memulai sholat setelah Kak Affan aku tetap selesai lebih dulu. Aku segera membaca beberapa do’a yang di tuliskan Kak Affan dan segera menyudahinya. Ngantuk! Aku menguap.
“Kak, ayah mana?” tanyaku. Namun ketika itu Kak Affan masih khusu’ berdo’a, jadi aku memilih untuk menunggunya dan merebahkan tubuhku di lantai.
“Jihan..”
Aku menoleh.
“Kenapa kamu tiduran? Bukankah kakak sudah bilang bahwa Allah itu turun ke langit dunia pada waktu sepertiga malam yang akhir? Apa kamu tidak malu keika Allah melihatmu dan kamu tidur-tiduran seperti itu?” Aku langsung membangkitkan tubuhku.
“Tapi kak, aku tadikan sudah sholat dan do’a..”
“Ya udah, sekarang kakak ajari kamu baca Al-Qur’an setelah itu kerjakan tugas-tugas sekolahmu.”
Aku dan Kak Affan pergi ke kamar untuk belajar Al-Qur’an dan mengerjakan tugas-tugasku.
***
Itulah sekilas kegiatanku setiap hari. Namaku Rosyidatul Jihan. Aku kerap dipanggil Jihan. Sekarang aku duduk di bangku kelas lima SD. Aku tinggal bertiga di istanaku-rumahku istanaku- yang sederhana. Di sana aku tinggal bersama Kak Affan dan ayah. Kan Affan adalah sosok yang berharga bagiku. Selain dia selalu membantuku dalam urusan dunia, ia juga senantiasa membimbingku agar selalu berada dalam jalan-Nya.
Berbeda dengan ayahku-tapi jangan bilang siapa-siapa-. Dia adalah ayah yang buruk bagiku. Tiada hari ketika Kak Affan selalu menggopongnya dengan sempoyoyongan dan di tangannya terdapat sebuah botol. Aku tak tahu sebenarnya botol apa itu, yang aku tahu botol itu selalu membuat ayah tak sadarkan diri. Sudah sering Kak Affan mengingatkan ayah bahwa botol itu tidak baik unuk ayah, namun setiap kali Kak Affan bilang seperti itu, aku selalu melihat Kak Affan dianiaya oleh ayah. Tak tega rasanya melihat Kak Affan diperlakukan seperti itu, tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa sembunyi dibalik pintu dan berharap ayah segera menyudahinya.
Kak Affan adalah tulang punggung keluarga kami. Aku tahu sebenarnya Kak Affan belum cukup umur untuk disebut sebagai pekerja. Namun setelah ibu meninggal ayahku menjadi tak karuan dan akhirnya Kak Affanlah yang harus membanting tulangnya untuk kebutuhan sehari-hari kami.
Hampir setiap hari ia berjalan di dekat halte bus dan terminal untuk menyemir sepatu bapak-bapak. Aku pernah ikut dengannya sekali dan ternyata hal itu sangat melelahkan. Tak jarang Kak Affan tidak mendpat pelanggan seorangpu. Namun hal itu tak membuat ia harus meminta-minta kepada orang lain. Ketika ia tidak mendapatkan pelaggan pada pagi harinya, ia menjual korang di lampu merah setelah sholat duhur. Suaranya lantang, mungkin hal itu yang membuat beberapa orang tertarik untuk membeli Koran Kak Affan.
***
Pukul delapan pagi Kak Affan sudah ada di terminal bus. Ia meneguk air putih yang ia bawah dari rumah. Terik matahari pada waktu itu memang sedikit menyengat, ditambah debu yang dari tadi berterbangan membuat Kak Affan batuk-batuk. Tapi tetap saja ia tak kenal lelah. Ia tetap menawarkan jasanya kepada bapak-bapak di tempat itu.
“Semir sepatu! Semir sepatu!” Kak Affan berkeliling ke segala penjuru terminal untuk mendapatkan pelanggan.
“Anak muda!” Terdengar panggilan dari seorang bapak dengan anaknya di depan suatu kedai makanan ringan. Kak Affan menghampirinya dengan semangat. Dalam benaknya terlantun kalimat Alhamdulillah Allah telah menurunkan pertolongan-Nya.
“Tolong semirkan sepatu anak saya yam as. Dari tadi dia mengeluh sepatunya kotor.”
“Baik, Pak!” Kak Affan langsung jongkok dang mengeluarkan segala peralatannya. Ia pun segera menyemir sepatu anak bapak tadi.
Hening. Kak Affan fokus dengan pekerjaannya. Sedangkan bapak tadi membaca Koran dan anaknya sedang memperhatikan Kak Affan menyemir sepatunya.
“Adek sudah kelas berapa?” Tanya Kak Affan.
“Aku kelas lima” jawabnya polos.
“Kalau begitu Adek seumuran dengan adek saya. Bagaimana sekolahnya, menyenangkan?”
“Begitulah. Aku tidak terlalu suka sekolah.”
“Kenapa begitu? Bahkan adek abang ingin terus mencari ilmu sampai ia bisa menjadi dokter.”
“Mana mungkin bisa! Abangkan hanya penyemir sepatu.” Jawab anak itu dengan nada datar dan masih dengan kepolosannya.
“Hush…! Kamu itu jangan ngomong sembarangan!” tegur bapak tadi kepada anaknya.
“Maaf ya mas…, anak ini memang agak bandel. Apa lagi hari ini, mungkin karena mamanya pergi ke luar kota tanpa bilang dulu sama dia.” Bapak itu meminta maaf pada Kak Affan.
“Tidak apa-apa, Pak. Maklumlah masih anak kecil. Adik saya juga sering berbuat seperti itu.”
“Kalau boleh tahu, apa mas ini Cuma tinggal bersama adek mas?”
“Tidak. Kami juga tinggal bersama ayah kami.”
“Hmm, ayah mas kerja di mana?”
“Ayah saya tidak bekerja.”
“Terus-“
“Mungkin kalau ayah saya, saya tidak akan menceritakanya.” Kak Affan terdiam. “Tapi kalau adik saya, saya mau, Pak.” Lanjut Kak Affan.

Bapak itu memandang Kak Affan yang masih serius menyemir sepatu anaknya. Saat itu mungkin sang bapak tahu bagaimana kondisi ayah Kak Affan dan keluarganya. Bapak itu seketika berhenti bertanya. Pikirannya kosong. Entah apa yang ingin ia lakukan. Ia hanya memandangi Kak affan yang masih menyemir sepatu anaknya.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH FILM PENDEK TERBAIK -- cerita santri --

Materi kelas XI BAB II~MENELAAH KETENTUAN KONSTITUSIONAL KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

MAKALAH PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA