Did I ever tell you, that you're my Hero? -end-
Hari ini hari
minggu. Aku taruh dua cangkir teh di meja depan. Awalnya aku ragu ketika hendak
meletakan cangkir-cangkir tersebut, karena ayah sedang duduk di sana dengan
sebatang rokok di tangannya.
“Jihan, tolong
duduk sini sebentar, nak.” pinta ayah. Keringat dingin mulai keluar dari
pori-poriku. Apakah aku telah melakukan kesalahan?
“Tunggu apa lagi.
Cepatlah!” sahut ayah. Aku pun segera menuruti permintaannya. Aku duduk di
sampingnya dengan penuh ketakutan.
“Jihan sekarang
udah kelas berapa?”
“Kelas lima.”
“Kalau begitu
sebentar lagi Jihan kelas enam dan SMP. Jihan mau melanjutkan ke SMP mana?”
“Jihan nggak tahu,
Yah. Mungkin Jihan akan bantu Kak Affan aja.”
“Kenapa harus
Affan?! Memangnya orang yang ada di dunia ini hanya Affan tolol itu?!” kata
ayah dengan amarah yang sangat dasyat. Sungguh aku tak bisa membendung air
mataku. Meskipun aku mencoba,ternyata tetap cairan bening ini mengalir dari
mataku. Saat kulihat Kak Affan keluar dari belakang, aku langsung berlari ke
arahnya dan memeluknya. Air mataku membasahi sarung yang dipakainya untuk
sholat dhuha. Kak Affan pun memelukku, sedangkan ayah sudah pergi meninggalkan
kami berdua.
“Kamu kenapa?”
Tanya Kak Affan dengan lembut. Aku pun menceritakan peristiwa barusan. Kak
Affan hanya membelaiku. “Mungkin ayah hanya tak ingin kamu menjadi orang yang
tidak begitu berguna seperti kakak.” Tuturnya.
“Kak, Jihan boleh
ikut bekerja?”
“Tapi di luar sana
sangat berbahaya untuk Jihan. Lebih baik Jihan di rumah.”
“Ayolah Kak. Sehari ini saja.” Aku mencoba meyakinkan
Kak Affan. Akhirnya Kak Affan pun mengizinkanku untuk iku t dia bekerja.
Sudah dua jam
kami berkeliling di terminal bus ini. Namun Kak Affan masih mendapat satu
pelanggan. Sungguh tragis nasib kakakku. Setiap hari ia bercampur dengan
debu-debu tebal yang membalut kulitnya. Polusi dari asap bus yang berdatangan
lalu pergi. Namun, setiap malam ayah menganiayanya karena penghasilan Kak Affan
yang memang tak melimpah. Bagaimana bisa melimpah, untuk membeli makan tiga
kali sehari aja tidak cukup. Hampir dari semua penghasilan kakak dipakai ayang
untuk berjudi dan membeli minuman keras. Aku sempat melihat ketika kakak harus
berbalutkan darah di wajahnya dan memar di sekujur tubuhnya. Namun apalah daya.
Aku hanya bisa merebuskan air hangat untuk membantu meringankan luka Kak Affan.
Pernah tetannga kami yang merupakan polisi yang sangat terpandang mengusulkan
agar kakak melaporkan ayah kepihak berwajib karena KDRT. Tapi Kak Affan
menjawab, “Apakah bapak ingin menjadikan saya anak durhaka dengan melaporkan ayah
kandung saya ke polisi? Siksaan yang diperbuat oleh ayah saya itu tidak ada
apa-apanya daripada siksaan Yang Maha Kuasa kepada hambanya yang durhaka kepada
orang tuanya. Satulagi, saya sangat yakin bahwa suatu saat nanti ayah saya
pasti mendapatkan hidayah dari-Nya.” Kata-kata Kak Affan membuat polisi
berbadan kekar itu diam dan segera pulang. Dalam perjalanan ia sempat berfikir
akan apa yang dikatakan Kak Affan, karena kebanyakan orang akan berfikiran
sempit dan langsung melaporkan orang tuanya meskipun hanya karena hal sepele.
“Affan!” sorak
seorang bapak yang berlari kea rah kami.
“Kamu masih
ingat saya, kan?”
“Iya, Pak. Ada
apa?”
“Ini, anak saya
suka polesan semir kamu dan kini sepatunya sudah kotor lagi. Maklumlah anak
kecil. Setiap hari saya ke sini mencari kamu, tapi saya tidak melihat betang
hidungmu sampai sekarang. Kamu bisakan menyemirkan sepatu anak saya lagi?”
“Tentu, Pak.
Dengan senang hati.” Kak Affan menerima sepatunya dan mulai menyemirnya.
“Oh, jadi ini
adik kamu, Fan.”
“Iya, Pak.” Aku
pun langsung menyalami tangan bapak itu.
“Assalamu’alaikum,
saya Jihan.”
“Tangan Om bau
obat, apa Om ini seorang dokter?”
“Wah ternyata
indra penciumu hebat juga.”
“Jihan juga
ingin jadi dokter, tapi Jihan pikir itu hanyalah sebuah mimpi. Jadi Jihan ingin
bantu Kak Affan aja.”
“Lho kenapa?
Bukankah Jihan ini salah satu generasi penerus bangsa, kenapa mudah putus
harapan? Kalau ingin jadi dokter, Jihan harus rajin belajar dan berdo’a.”
“Tapi kan kalau
mau jadi dokter harus punya uang banyak.”
“Masalah uang itu
urusan belakang. Lagian sekarang kan banyak beasiswa dari pemerintah, kenapa
harus khawatir?” Aku dan Bapak itu pun berbincang-bincang lama sembari menunggu
Kak Affan selesai menyemir.
*****
Pagi ini aku
bangun tanpa dibangunkan oleh Kak Affan. Alhamdulillah, pikirku. Aku segera
sholat tahajut dan mulai belajar. Aku ingat sekali apa yang dikatakan bapak
yang kemarin, dimana ada keingin yang amat kuat, pasti ada jalan untuk
mewujudkannya.
“Ayah, aku mau
jadi dokter, tapi ayah harus janji tidak minum lagi dan kurangi merokok.” Aku
mencium tangan ayah yang sedang berbaring di kamarnya.
Siang ini
sangat cerah, secerah hatiku. Aku mendapatkan motivasi dari seorang dokter
langsung. Andai teman-temanku bisa melihatnya, pasti mereka tidak mencemoohku
lagi dan berhenti menyebutku penghayal.
“Hei nak, ayo
Om antarkan berangkat sekolah. Nanti telat lho.” Kata bapak-bapak yang muncul
dari belakang secara tiba-tiba.
“Enggak! Jihan
gak mau.”
“Udah ayo. Ini
om punya jajan banyak.”
Elakanku
ternyata tak mempan kepada sang bapak itu. Dari penampilannya saja sudah bisa
di tebak dia bukanlah orang yang baik. Jadi untuk ajakannya yang barusan aku
sengaja tidak menghiraukannya. Namun tiba-tiba…
“Ayo Om
antarkan!” Bapak itu mulai meraih tanganku dan memaksaku untuk mengikutinya.
“Tolong!!
Sakit.” Aku teriak sekeras mungking berharap seseorang menolongku. Namun belum
ada orang yang melihat kami, dia mulai menyeretku. Aku takut, sangat takut.
Akankah apa yang aku yakinkan sirna dengan sekejap karena orang aneh ini? Ya
Rabb..tolong hamba…
“Hei!
Mau kau bawa kemana anakku?” Tiba-tiba ayahku datang denga sedikit sempoyongan.
Mungkin tadi malam dia terlalu mabuk, sehingga belum hilang seratus persen
kesadarannya.
“AYAH!”
“Oh, jadi ini
anakmu,Sul! Tepatlah dugaanku.”
“Apa maksudmu?”
“Ya! Aku akan
menjadikan anakmu sebagai budakku karena kau telah mengambil semua hartaku dari
judi semalam.”
“Apa?
Berani-beraninya kau!”
Ayah langsung
mendekat pada orang itu dan mencoba memukul matanya. Sayang pukulan ayah dapat
ia tangkis dan akhirnya..
“Ayaaah..!” Sebuah
pisau menancap di dadanya. Cairan kental berwarna merah pun mulai mewarnai
bajunya. Aku panic. Aku takut. Tolong, siapa saja tolong.
“Hei ada apa di
sana?” Dua orang bapak-bapak berlari kea rah kami bertiga. Bapak yang tadi
menusuk ayah pun segera lari, kabur meninggalkan kami. Kedua bapak tadi pun
langsung mencari bantuan untuk membawa ayah ke rumah-sakit.
*****
Suasana hening.
Kak Affan terus mondar-mandir di depan pintu tempat ayah diperiksa. Aku hanya
bisa duduk dan menangis. Tiba-tiba terdengarlah langkah kaki yang cepat berlari
kea rah kami. Bapak dokter yang kemarin. Ternyata ini merupakan rumah sakit
ayahnya, jadi tak heran bapak itu bekerja di sini.
“Kau tak apa
Jihan?” Air mataku semakin tersedu-sedu ketika pak dokter itu bertanya
kepadaku. Ia pun memeluku. Sabar, Allah pasti memberikan jalan terbaik untuk
hambanya.
“Tapi Om, ia
adalah ayah saya. Memang saya selalu takut jika melihatnya, apalagi berbicara
dengannya, tapi dia adalah pahlawan saya. Mungkin jika ayah tidak datang,
sekarang Jihan sudah menjadi budak orang aneh tadi.” Aku mengusap air mataku.
“Dokter, tolong
selamatkan dia. Jihan janji, kalau ayah bangun nanti Jihan akan bilang kalau
ayah adalah pahlawan Jihan nomer satu di dunia. Jihan janji,Om.”
Pintu kamar ayah
terbuka. Dokter lain dan para perawat keluar dari kamar tersebut.
“Bagaimana ayah
saya ,Dok?” Tanya Kak Affan.
“Untuk sementara
ini luka ayah saudara bisa kami tangani, tapi entah untuk ke depannya.” Jawab
dokter yang telah memeriksa ayah. Aku, Kak Affan, dan Om kemarin pun masuk ke
kamar ayah.
“Ayah ini Jihan.
Ayah bangun dong, ini sudah siang lho. Jihan sudah belikan teh untuk ayah. Oh
ya, Jihan mau bilang kalau ayah itu pahlawan Jihan nomer satu se-dunia, jadi
ayah bangun ya. Kak Affan juga di sini. Ayah jangan marah terus sama Kak Affan.
Kak Affan selalu menjadikan ayah yang nomer satu daripada Jihan, tapi kenapa
ayah memukuli Kak Affan. Nanti kalau ayah sadar, ayah lekas minta maaf pada Kak
Affan dan bertaubat kepada Allah ya, Yah.”
Aku tidak
henti-henti meneteskan air mata ketika mengatakan semua itu di hadapan ayah
yang benar-benar terbaring lemah di
hadapanku. Saat kulihat wajah ayah, ternyata cairan benih ini juga mengalir
dari mata ayah. Alhamdulillah, ayah mendengar kata Jihan. Namun tiba-tiba detak
jantung ayah semakin melemah. Om dokter segera menanganinya. Aku hanya bisa
berharap Allah menyelamatkannya. Lantunan do’a trus terucap dari bibirku sampai
om dokter mengatakan bahwah jantung ayah tak berdetak lagi.
Ayah telah
tiada. Tangisanku semakin menjadi-jadi. Ayah, ayah tak bisa meninggalkan Jihan
sebelum ayah mendengar dengan nyata bahwah ayah benar-benar pahlawan Jihan.
Memang tak
pernah terdengar di telingamu dengan jelas, tapi aku tak bisa mengelak bahwah
kau adalah pahlawanku. Mungkin di awal aku hanya belum menyadari semua. Dan
memang sebelunya aku tak pernah berkata apakah aku pernah mengatakan bahwa
engkau pahlawanku? Namun, inilah saat aku mengatakannya, mengapa kau malah
menghilang?
---(the
end)---
Comments
Post a Comment