PEREMPUAN DI KAKI DUNIA- Teruntuk Para Hawa
Terkadang aku berpikir bahwa menjadi seorang perempuan tak selalu menjadi piilhan yang baik. Namun saat ini aku terlahir untuk menjadi perempuan. Dan aku yakin itu adalah sebuah ketentuan terbaik. Bukankah perempuan itu makhluk yang istimewa lagi dimuliakan dalam Islam? Meski kadang rasa ingin menjadi seperti lelaki itu ada. Sampai ketika rasa iri pada mereka para lelaki tiba. Kenapa sih kok bukan aku aja. Aku kan lebih bisa daripada mereka. Kadang itu yang yang terlintas dalam benakku. Mereka boleha, kenapa aku enggak? Perempuan penuh dengan rambu-rambu yang mengikat dan membatasi untuk bebas. Itulah yang sering aku pikirkan. Tapi tetap saja, aku tak bisa menentang takdir yang telah memilihku.
Itulah yang
dikatakan guru fisikaku, Bapak Zainul Musyafa’. “Kau tidak bisa merubah suatu
takdir yang telah ‘lewat’ meski itu dibuat mungkin”. Beliau adalah seorang yang
lembut, sabar, dan salah satu orang hebat yang pernah aku temui. Bersama dengannya
aku belajar sebagian arti kehidupan dari fisika. Tentang keseimbangan,
frekuensi dan gelombang, cahaya dan kepolaran, resonansi, dan masih banyak
lagi. Dari beliau aku menemukan ilmu-ilmu baru yang tidak aku dapatkan dari
guru lain. Meski kadang murid sepertiku tidak terlalu faham dengan apa yang
Beliau katakan. Saat itu Beliau hanya berkata, “Nanti kalau sudah waktunya
kalian juga akan tahu sendiri.” Dengan senyum tipis di wajahnya, Beliau
menuturkanya dengan lembut kepada kami.
Mbak Gita Savitri Devi |
Ah, udah keluar dari tema yang ingin aku bahas.
Mungkin keistimewaan Beliau bisa kita bahas lain waktu. Sekarang aku ingin
bahas tentang masih adanya keinginanku untuk menjadi seorang lelaki. Bukanya
aku gak mau bersyukur atas nikmat Allah, hanya saja terkadang pasti ada waktu
disaat kamu ingin menjadi orang lain. Kalau menurut sebagian orang menjadi diri
sendiri itu lebih baik, menurutku apa salahnya jadi orang lain agar kita bisa
jadi lebih baik. Contohnya aku. Salah satu sosok yang aku kagumi adalah Mbak
Gita Savitri. Emang belum lama aku tahu dia, tapi aku ingin menjadi remaja yang
bisa seperti dia. Bisa produktif diusia muda! Aku tahu kalau aku gak secantik Mbak
Gita, suaraku gak semerdu Mbak Gita, finansialku juga gak kayak Mbak Gita,
tulisanku gak seindah Mbak Gita, otakku juga gak semahir Mbak Gita. Tapi aku
sama-sama perempuan kayak Mbak Gita :D Gak itu aja sih, aku juga suka menulis
dan seneeeng banget sama kimia. Soalnya aku cuma membidangi mapel itu saja.
Sertifikatku juga kebanyakan tentang kimia sama menulis. Selain itu aku cuma
bisa membuat sedikit goresan di sketchbook ku. Namun waktu tahu Mbak Gita dapet
beasiswa kimia ke Jerman, aku juga semakin ingin mengejar cita-citaku yang pastinya
terdapat beberapa hambatan dalam meraihnya. Dari dulu aku juga ingin dapet beasiswa ke Eropa. Semoga Allah mudahkan disetiap perkara hambanya.
![]() |
Sketch Guru Kimiaku: Bapak Teguh Hendri A |
Pasalnya ibu tercintaku lebih menyetujuiku kalau aku
masuk jurusan pajak atau akutansi dan sebagainya. Bahkan Beliau pernah
menyuruhku untuk mengambil jurusan kedokteran yang isunya fakultas itu mahal
banget, anaknya pasti pinter-pinter, gak kayak aku yang finansial dan otaknya
serba kecukupan. Berbagai alasan kadang aku buat agar ibu bisa ridho kalau aku
masuk jurusan kimia. Sekali lagi Beliau menentang alasanku itu. “Kalau
dokterkan jasanya lebih berguna di Indonesia. Atau kalau nggak, kerja di
perpajakan juga lebih terjamin. Kalau kamu ngambil kimia, kamu mau jadi apa? Di
negara kita itu ilmuwan masih gak
terlalu berguna.” Namanya saja ibu, pasti tuturnya banyak. Saat itu aku Cuma jawab
sedikit memang, “Nah, karena itu, Bu.. nanti aku insyaa Allah yang mengubah
nasib para ilmuwan Indonesia. Aku yang bakal buktikan kalau ilmuwan Indonesia
itu juga hebat!” Jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku.
Sekali lagi aku ingat kalau aku itu perempuan.
Jadi pemimpin dalam rapat pemuda di kampung aja sama Ayah gak boleh, mau
merubah nasib ilmuwan Indonesia. Tapi kalau dipikir-pikir aku emang gak punya
cita-cita lain selain menjadi ilmuwan, pengusaha, penulis, dan ibu rumah tangga
yang baik. Bahkan saat ditanya mau jadi apa, aku jawabnya, “Pokoknya gak jadi
guru.” Kebimbangan terus membuatku resah. Aku sudah tanya Allah, guru BP, dan
beberapa orang lain yang dekat denganku. Namun aku belum menemukan jawaban yang
“pas”. Semua antara meraih cita-cita yang kebanyakan orang menggenggamnya erat
dan meraih ridho orang tua untuk membahagiakan mereka. Pasti kebanyakan orang
milihnya cita-cita tercapai dengan ridho orang tua sehingga bisa membahaikan
mereka. Betul gak??? ( Nah, buat kalian
yang punya solusi atau mungkin jalan tengah untuk masalah ini, tolong komen
ya... Mungkin bisa membantu aku atau temen-temen yang lain.)
Dari sini pun kata ‘perempuan’ masih sedikit
menggangguku. Sebab orang-orang masih percaya bahwa, ”Wong wadon iku bakale yo nang pawon” , yang artinya anak perempuan
itu pada akhirnya juga kembali ke dapur, sehingga ada sebagian orang yang berpikir
kalau anak perempuan gak usah menuntut ilmu tinggi-tinggi. Aku gak suka sama
orang yang seperti itu. Mereka seakan membatasi perempuan untuk mendapat
pendidikan yang layak. Bahkan wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW
memerintahkan untuk mencari ilmu, masa’ kita menuntut ilmunya
setengah-setengah?? Membatasi lagi.

eh, aku kok agak bingung sama kalimat ini yak ?
ReplyDelete"Bahkan Beliau pernah menyuruhku untuk mengambil jurusan kedokteran yang isunya fakultas itu mahal banget, anaknya pasti pinter-pinter, gak kayak aku yang finansial dan otaknya serba kecukupan."
aku kan juga sadar kalau aku emang gak mampu di jurusan dan fakultas itu :))))
ReplyDelete