Ayah, bolehkah aku mencintainya?


Pagi yang sejuk melirik rumah jingga di suatu dusun. Di sana tampak seorang gadis belia keluar dari pintu belakang sambil membawa nampan dengan secangkir teh di atasnya. Perlahan ia berjalan menuju sosok lelaki gagah yang saat ini sedang membaca buku berjudul “The Amargadon”. Dengan sapaan manis dan sopan gadis itu menyuguhkan teh tersebut dan ikut duduk di teras belakang rumah itu. Mereka mulai bercakap, tertawa, dan bertukar pandang. Kemudian gadis itu diam sejenak dan bertanya, “Ayah, apakah aku boleh mencintainya?” Tanyanya malu-malu dengan wajah yang memerah.
“Siapakah dia, Wahai putriku?”
 “Dia adalah si fulan. Suaranya begitu indah, Ayah. Aku luluh dan hatiku bergetar kala mendengar dia adzan dan melantunkan ayat Al-Qur’an.” Jelas gadis itu berharap ayahnya senang dengan sifat orang yang ia tanyakan.
 “Wahai putriku, kau bebas menjatuhkan pilihan kepada siapa saja. Sebab hati bebas akan berarah pada siapa pun. Tapi, jika kau memilih si fulan yang demikian, apakah saat Allah menghilangkan suaranya lantas kau meninggalkannya dan tak mau lagi mendengar ayat Al-Qur’an karena kekecewaanmu terhadapnya?” 
Gadis itu terdiam. Ayahnya benar dan ia tak ingin menjadi seperti itu. Akhirnya ia berusaha melupakan si fulan tadi.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Gadis tadi menjadi lebih dewasa. Di lain hari ia berbincang-bincang dengan ayahnya lagi. Kali ini ibunya juga duduk di sampingnya. “Ayah, aku telah mengenal si fulan. Apakah aku boleh mencintainya?” Tanyanya.
“Bagaimanakah dia, Wahai putriku?”
“Menurut yang aku tahu, dia begitu baik kepadaku juga orang lain. Dia ringan tangan dan merangkul semua kalangan, dia telah mengetuk hatiku dengan caranya.”
“Wahai putriku, Ayah senang, sepertinya ia memiliki jiwa yang luhur. Namun ketahuilah, tak ada seorang pun yang tak berbuat salah. Maka apakah jika kau telah menjadi pendampingnya kemudian dia berbuat salah, lantas kau akan membenarkan kesalahannya dan menutupi kesalahannya tersebut? Dan kau juga perlu tahu, saat kau mencintainya karna kebaikannya, itu namanya bukan cinta. Itu adalah balas budi.”
Gadis itu terdiam lagi. Lelaki kedua yang ia pilih ternyata belum bisa mengetuk pintu hati ayahnya. Akhirnya ia relakan si fulan itu pergi. Benar memang si fulan sangatlah baik, namun lelaki terhebat bagi gadis itu adalah ayahnya. Dan setiap jawaban dari ayahnya adalah nasihat bagi dirinya untuk mengarungi samudera kehidupan yang lebih rumit.
Waktu terus berlalu. Suatu saat datanglah seorang laki-laki yang tampak begitu berwibawa datang ke rumah gadis itu. Ia bermaksud meminta izin kepada sang ayah untuk meminangnya. Betapa terkejutnya hati sang gadis mendengar kabar tersebut dari ibunya. Ia tak menyangka lelaki yang mempunyai segudang ilmu itu hendak meminang gadis biasa seperti dirinya. Namun ia lebih terkejut lagi dan tidak percaya setelah tahu bahwa ayahnya menolak lamaran lelaki itu.
Esok senjanya, saat atmosfer rumah mulai kembali seperti semula, gadis itu menghendaki bertanya kepada ayahnya perihal lelaki kemarin. Apakah kiranya yang membuat ayahnya mengambil keputusan demikian.
Ia membawa secangkir kopi hitam dan meyuguhkanya kepada ayahnya yang tengah duduk di ruang tamu. 

“Wahai Ayah, engkau adalah sosok yang hebat bagiku. Pituturmu menjadi penyemangat saat imanku melemah, pelurus saat langkahku mulai menyimpang, dan petunjuk saat aku kehilangan arah,” Gadis itu diam sejenak. Ia menghela nafas panjang. Sebenarnya ia teramat takut untuk mengutarakan pertanyaannya. Takut jika akhirnya membuat ayahnya marah.
“Namun aku tetaplah putrimu yang penuh tanya, lantas apakah yang membuat engkau menolak si fulan kemarin? Bukankah ia seorang yang mulia?” Lanjut gadis itu.
Ayah gadis itu tidak langsung menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya diam sampai beberapa menit. Gadis itu semakin takut. Ia tak berani menatap ayahnya. Akhirnya keheningan yang mengisi ruangan itu, “Wahai putriku, kamu adalah anak kecilku. Sampai kapan pun kau akan tetap menjadi anakku yang penuh tanya dan aku adalah orang tuamu. Ketahuilah, suksesnya seorang ayah dan ibu adalah saat mereka berhasil menyandingkan anak-anaknya dengan seorang yang tepat. Adapun ayah menolak pemuda itu yang terkenal dengan ilmunya yang menggunung adalah bahwa Allah bisa saja mengangkat ilmu itu karena kesombongan. Ayah tidak ingin ketika hal itu terjadi kau akan mengikutinya dan berpaling dari kebenaran.”
Gadis itu tergetar. Matanya pun berkaca-kaca. Sungguh semoga ia dijauhkan dari hal tersebut, begitulah hatinya berdoa saat itu.

 “Adapun cinta yang sesungguhnya adalah saat kau memcintai seseorang tanpa karena. Namun dengannya keimananmu bisa semakin dewasa, takwamu semakin tumbuh, hatimu semakin bijak, akhlakmu semakin indah, dan cintamu kepada Allah terus bertambah. Dialah yang kelak menggandeng tanganmu ke surga. Sebab, tak hanya ingin sehidup denganmu, ia juga menghendaki sesurga bersamamu.” 

Gadis itu sadar, ternyata apa yang terlihat baik oleh mata tak selalu baik oleh Allah. Ia pun tertegun dan menangis. Ayahnya mendekati gasis itu dan mengelus kepalanya. Gadis itu pun memeluk ayahnya. Sebuah pelukan terhangat kepada cinta pertama sang gadis. Bagi gadis itu, ayah selalu punya cara membebaskan tanpa harus melepaskan.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH FILM PENDEK TERBAIK -- cerita santri --

Materi kelas XI BAB II~MENELAAH KETENTUAN KONSTITUSIONAL KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

MAKALAH PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA